“Perumahan Swadaya di Indonesia”
Permukiman informal di Indonesia
sangat besar ditandai dengan semakin banyaknya
pembangunan perumahan swadaya. Perumahan swadaya ini muncul karena
adanya urbanisasi yang tinggi di perkotaan sehingga menyebabkan masyarakat
banyak mendirikan permukiman informal untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Seperti
yang dituliskan oleh UN-Habitat (2003) bahwa diperkirakan 23% dari adanya
urbanisasi, populasi di perkotaan tinggal di permukiman informal. Banyak yang
melihat hal tersebut semacam parasit perkotaan yang perlu diberantas, namun
akan dapat berubah karena berbagai tanggapan dan solusi untuk penyelesaian
masalah. Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah adalah dengan
pemberdayaan permukiman informal yang terdiri dari keamanan kepemilikan,
ekonomi informal dan modal sosial untuk permukiman informal.
Banyak permukiman informal yang
menempati ruang namun tidak sesuai penggunaan lahannya sebagai perumahan,
seperti di bantaran sungai, rel kereta api dan gedung-gedung yang sedang
dibangun. Jaminan kepemilikan adalah kunci untuk pemberdayaan yang tepat untuk
masyarakat di permukiman informal. De Soto (2000) menyebutkan bahwa tanpa
keamanan, penduduk tidak dapat memanfaatkan properti dan menggunakannya untuk
taraf meningkatkan taraf hidup mereka dengan melakukan kegiatan ekonomi
ditempat tersebut. Ekonomi informal yang dilakukan memiliki banyak resiko
karena tidak ada ketentuan hukum dan jaminan tempat. Lyons dan Snoxell (2004)
menunujukkan bahwa ekonomi lingkungan
sulit dan persaingan ketat disektor informal tergantung pada hubungan sosial
yang kuat, dengan memberikan akses ke pemilik modal yang membantu mata
pencaharian mereka. Selain itu juga pentingnya modal sosial yang diartikan sebagai sumber daya yang di akses melalui
kontak sosial, jaringan sosial, timbale balik, norma dan kepercayaan
(Bourdieu, 1986; Coleman,1988; Field,2003; kleinhans, Priemus, Engbersen, 2007
dan Putnam,2000).
Komentar
Posting Komentar