TIDUR


01.40 middle nite…
Ketika satu zat dapat mengubah rasa…
Ketika sugesti selalu menjadi kenyataan…
Yaitu ketika kaleng menyentuh bibir, sekumpulan air “ kopi instant” 
mengalir memasuki rongga kerongkongan
sampai pada lambung yang menjentik tersentak kaget
merangsang saraf menghubungkan perintah otak,,
mewujudkan sugesti :
“Jika aku meminum secangkir kopi, maka aku tak akan pernah bisa tidur sampai pagi!”

Berkelebat-kelebat memori yang sempat terekam kembali berputar
Mungkin ini salah satu usaha tuk memejamkan mata
Mencoba melayangkan pikiran, dan semua itu datang…

*Mencari Celah dalam Tidur*
Dua tahun….
Katakanlah hampir dua tahun….,
Sedetik saat ku akan memejamkan mata, aku selalu melihat sesuatu yang besar dan hangat dengan nafas lirih tak terdengar disampingku. Kulitnya halus, matanya sipit tetapi memiliki tatapan tajam, dan tidak butuh waktu lama untuk terpejam jika rasa kantuk datang. Senyumannya sungguh sangat mempesona, membuat bibirku tak sanggup untuk tak menarik ke atas dan ikut tersenyum. Aku akan selalu merekam adegan saat senyum itu ia perlihatkan, merekam dalam otakku, karna jarang sekali tuk mendapatkan kesempatan itu. Saat ia memberi senyumnya aku selalu berdo’a dalam hati ‘Seandainya pemilik senyum mempesona itu mau untuk terus memberikan senyumnya kepadaku, aku ingin memiliki dan menikmati senyumnya’. Tak pernah ada kata “Selamat malam sayang, selamat tidur, mimpiin aku ya…” Never!! Pemilik mata sipit dan senyum menawan itu bukanlah seseorang yang romantis. Bahkan kata ‘sayang’ adalah panggilan yang selama ini sangat ingin aku dengar. Walau bibir pink coklat agak kehitaman karena terlalu banyak menghisap rokok itu tak pernah berkata manis padaku, namun aku pernah merasakannya, manis sekali. Hanya dia yang memiliki bibir semanis itu, seperti aku sedang memakan gula.
Malam itu, bukan malam kali pertama aku berada disampingnya, namun itu malam yang kesekian kalinya aku berbagi tempat tidur dengannya. Kamar berukuran 3x4 meter cukup luas dengan dua kasur kecil diatas karpet hijau, komputer dimeja kecil yang juga berfungsi sebagai TV dan terdapat CPU dikanan kirinya, serta meja kayu coklat disamping lemari pakaian. Satu spot yang paling aku sukai dari kamar itu, jendela ditengah ruang yang jika aku buka akan terlihat Sang Surya berpamitan pulang dibalik gunung kemudian langit akan menjadi kemerah-merahan ketika senja menyapa. Kamar yang terletak di lantai 2 ini cukup strategis bersahabat dengan alam dan angin, saat melihat keatas terlihat jelas kokoh berdiri Gunung Ungaran, namun hanya ketika menghadap kebawah akan mendapati pemandangan tidak mengenakkan yakni gunung sampah. Itu merupakan satu alasan ia tak memiliki tempat sampah di kamarnya.
Kejadian ini mungkin sudah lama, namun tak pernah sedikitpun rekaman memorinya mengelupas. Seperti pita kaset yang sudah tua, namun masih bisa mengeluarkan suara yang bisa didengar. Ritual sebelum tidur yang aku ingat hanya sebuah perjanjian di kasur sebelah mana kita akan tidur, aku selalu menempel tembok karna dia tak pernah suka menjadi seperti cicak. Kemudian berebut guling adalah momen yang tidak pernah terlewatkan karena kita sama-sama memiliki kebiasaan ‘tidak bisa tidur tanpa memeluk guling’. Dia selalu mengalah karna mungkin baginya lebih baik menyerahkan gulingnya kepadaku daripada aku akan menjadikannya gulingku. Ketika sudah tidur dia sangat tidak suka disentuh, sebab satu sentuhan bisa membuatnya terbangun dan tidak dapat tidur lagi. Itulah alasan mengapa dia tidak suka dibelai rambutnya ketika akan memejamkan mata.
Tak dapat ku tahankan lagi senyumku, sekedip mata kupejamkan mata lebih lama, aku teringat hal itu. Satu kebiasaan dia dan aku ketika kita berbagi tempat untuk bermimpi, posisi tidur yang ‘aneh’ bagi manusia normal selayaknya. Kaki di kepala, kepala di kaki. Entah mengapa dia tak mau meletakkan kepalanya disamping bantalku, namun dia lebih memilih meletakkannya disebelah kakiku. Pertama kali dia meminta, itu membuatku tertawa dan merasa aneh, tetapi setelah itu menjadi suatu keharusan bagi aku untuk tidur menatap kakinya. Huhh…
Mata itu telah tertidur, namun perlahan kakinya akan mencari-cari, mencari celah untuk sepasang alat berjalan itu menelusup. Mungkin kulit kakinya mencari kehangatan akibat kejamnya angin malam yang menusuk-nusuk. Ketemu…!! Telapak kaki kecil putih bersih itu menemukan bantalku atau jika tidak ia akan bersembunyi dibawah kasurku.  Setelah kaki mendapatkan celah yang membuatnya nyaman, tangannya juga tak mau kalah, tangan itu akan menelusup masuk kedalam bantalnya. Yang membuatku ingin tertawa adalah satu kebiasaan kecil dia yakni sesekali tangannya masuk kedalam celananya, mungkin juga mencari celah disela-sela sempitnya dua paha itu. Hahaa
Ketika Sang Fajar menyapa, mataku akan terbuka dengan senyum yang merekah. Ku tersenyum karena saat kukembali dari mimpiku dan kubuka mataku, wajahnyalah yang pertama aku lihat tepat diujung retinaku. Bahkan aku tidak terlalu menghiraukan mimpiku, atau mungkin sudah lupa karna ditengah-tengah mimpi aku rela berhenti untuk memindahkan bantalku disamping bantal dia. Kutelusuri dari ujung kepala hingga ujung kaki, kuperhatikan dan kurekam cara tidurnya.
 ‘Dia tidak akan pernah tahu sampai kapanpun, mungkin sampai dia membaca tulisan ini. Dia memang istimewa bagiku, dan aku selalu menyukai caranya menikmati mimpi dengan mencari celah kehangatan agar mimpinya terasa lebih indah. Dia selalu menemukan celah dibantalku bahkan hatiku, namun aku tak pernah dapat menemukan sekecilpun celah dibantalnya, apalagi dalam hatinya.’
Senyum getir tersungging diwajahku, memori itu segera tertutup. Pagi telah datang, ku berjalan kedapur dan memasak air panas. Hanya perlu 10 menit secangkir kopi itu menyebarkan aroma memikat yang kuat. Manisnya pas buatku, tapi pasti terlalu manis untuk dia. Menikmati secangkir kopi dengan membuka sosial media dari HP, selang beberapa menit mendapat panggilan ‘dewa bumi’ dan menyegarkan badan dengan air yang mengalir deras dari kran kamar mandi.
“Oke sudah siap, ayooo sarapan, Mumu”
Kuberanjak dari cermin di kamar kosku dengan meninggalkan senyum, “ritual bangun tidur dia” I will never forget it, Mamas!

Komentar